Sasterawan Negara Usman Awang
Tugasanku yang pertama
Kujabat mesra tangan ayah
Urat-urat daging-daging tua keras terasa
Mataku tersenyum, matanya menyapa
Anak yang pulang disambut mesra.
Mataku tersenyum, matanya menyapa
Anak yang pulang disambut mesra.
Tapi matanya, mata yang menatapku
Kolam-kolam derita dan pudar bulan pagi
Garis-garis putih lesu melingkungi hitam-suram
Suatu kelesauan yang tak pernah dipancarkan dulu.
Kolam-kolam derita dan pudar bulan pagi
Garis-garis putih lesu melingkungi hitam-suram
Suatu kelesauan yang tak pernah dipancarkan dulu.
Kelibat senyum matanya masih jua ramah
Akan menutup padaku kelesuan hidup sendiri
Bagai dalam suratnya dengan kata-kata siang
Memintaku pulang menikmati beras baru.
Akan menutup padaku kelesuan hidup sendiri
Bagai dalam suratnya dengan kata-kata siang
Memintaku pulang menikmati beras baru.
Anak yang pulang di sisi ayahnya maka akulah
merasakan kepedihan yang tercermin di mata
Meski kain pelekatnya bersih dalam kesegaran wuduk
Dan ia tidak pernah merasa, sebab derita itu adalah dia.
merasakan kepedihan yang tercermin di mata
Meski kain pelekatnya bersih dalam kesegaran wuduk
Dan ia tidak pernah merasa, sebab derita itu adalah dia.
~Usman Awang
No comments:
Post a Comment